Selasa, 06 Januari 2015

JANGAN LUPAKAN PAHLAWAN DI HARI PAHLAWAN





Teks Oleh :
Muhammad Arif
(Ketua Umum Persma RADIKAL Unasman)

Kalau anda tidak kenal Ammana I Wewang To Pole di Balitung, berarti anda bukan pencatat sejarah kemerdekaan yang cermat di Tanah Mandar. Maraqdia Malolo (panglima) Kerajaan Balanipa yang dengan gagah berani melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. “Inilah sesungguhnya Ammana I Wewang,” teriak Ammana I Wewang saat ratusan butir pelor (peluru) berasap menubruk tubuhnya, namun tak sebutir pun yang berhasil merobohkan dia (M.T. Azis Syah, 1984). 
Sewaktu penjajah Belanda menggunakan akal bulusnya untuk menduduki Tanah Mandar dalam sebuah pertemuan dengan Arajang Balanipa. Kala itu, yang menjabat sebagai raja adalah To Kape yang merupakan Raja ke-48 Kerajaan Balanipa. Perundingan deadlock,   Raja To Kape kemudian merobek-robek naskah perjanjian dalam pertemuan itu, karena isinya lebih menguntungkan pihak Belanda. Sebagai pembesar Kerajaan Balanipa, Ammana I Wewang yang waktu itu mendampingi Raja To Kape,  tanpa berpikir panjang, langsung  bersikap layaknya seorang panglima perang.  
 “Tuan-tuan Belanda ini seperti tidak tahu aturan. Rupanya tuan-tuan ini kurang ajar di negeri kami. Tuan-tuan ini orang kulit putih tidak berhak mengatur kami. Negeri ini adalah negeri orang Mandar. Tuan-tuan adalah tamu kami untuk datang berdagang. Kalau mau berkuasa di Mandar ini, kami tidak terima. Lebih baik tuan-tuan cepat meninggalkan ruangan ini sebelum saya marah. Ayo, pulang cepat dan kalau tidak, saya  bunuh tuan-tuan di tempat ini,” teriak Ammana I Wewang sembari menghentakkan kakinya ke tanah  dan akhirnya perwakilan Belanda itu pun meninggalkan tempat pertemuan (M.T. Azis Syah, 1984: 47).    
Begitu pun adik kandungnya, Ammana I Pattolawali yang diangkat menjadi panglima perang di Kerajaan Alu (sekarang masuk dalam wilayah Desa Alu, Kecamatan Alu, Kabupaten Polewali Mandar).  Dia dengan gigih menghalau serangan serdadu Belanda. Pasukan yang dipimpinnya  berguguran dalam pertempuran sengit. Meski hanya dirinya yang tersisa,  dia tetap melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan. 
Ratusan butir peluru tak secuil pun bersarang di tubuhnya. Sebagai panglima, sejengkal pun pantang bagi  Ammana I Pattolawali untuk gentar apalagi mundur.  Na’as, nasib tragis menimpanya, dia tewas karena kaki dan tangannya dipatahkan serdadu Belanda.  Dengan cara itu perlawanannya bisa dilumpuhkan.
Cerita tentang kepahlawanan di Tanah Mandar juga tak akan lengkap apabila tidak menyebut nama Syekh KH. Muhammad Thahir atau yang lebih dikenal dengan gelar Tosalamaq Imam Lapeo. Perjuangannya tak secara langsung berhadapan (vis a vis) dengan penjajah Jepang dan Belanda. Namun dengan kekuatan strategi, taktik, karomah dan do’a mustajabnya sebagai seorang aulia. 
 Imam Lapeo merupakan guru spritual sekaligus  guru ilmu politik dan taktik bagi pejuang-pejuang di Sulawesi yang biasa mendatanginya dalam kurun waktu 1942-1950. To Salamaq Imam Lapeo mengajarkan prinsip “Hubbul Wathani minal iman (cinta tanah air adalah sebagaian dari iman)” yang merupakan senjata utama diajarkan kepada murid-muridnya (Thahir (1972) dalam Zuhriah, 2013: 47). 
Di era pemerintahan Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) periode 1999-2000, rakyat Indonesia bahkan dunia internasional  mengenal pendekar hukum sekaliber Baharuddin Lopa, yang waktu itu menjabat sebagai jaksa agung. Tokoh dari bumi Mandar yang dikenal jujur dan sederhana,  mewarisi keberanian para pendahulunya seperti Ammana I Wewang, Ammana I Pattolawali, Andi Depu, Kolonel HS Mengga, Banru’, KH. Muhammad Thahir, KH. Muhammad Shaleh, Ahmad Kirang, KH. Sahabuddin, 40.000 jiwa pahlawan yang dibantai Westerling di  panyapuan Galung Lombok,  dan pahlawan-pahlawan yang tak bisa disebut satu persatu dalam tulisan singkat ini. Dengan darah Mandar yang mengalir di tubuhnya, dia berani membongkar kasus kejahatan koruptor kelas kakap di republik ini, meski nyawanya harus menjadi taruhan.  
     “Mandar i tau, iya di’o Mandar, andangi tia diang napaturu gengge ana’na, andang diang biyatta lamba mappagengge tau (kita ini Mandar, yang dikatakan Mandar: tidak ada yang mengajari anaknya berlaku culas, dan tak ada dalam keluarganya pergi membohongi orang),“ tegas Baharuddin Lopa,  yang waktu itu diwawancarai Surgawan Askari wartawan Radio Sawerigading FM Wonomulyo, diatas mobil menuju  kampung halamannya di Desa, Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar. 
Ya, kita patut bersyukur, karena tanpa jasa pahlawan yang telah merampungkan keduniawiannya, yang kesetiannya kepada apa, bukan kepada siapa, seperti bahasa yang kerap diucapkan penyair besar Mandar: Husni Djamaluddin,  kita akan selamanya menjadi bangsa kuli, terlunta-lunta, tertindas dan teraniaya, karena tak pernah menikmati udara segar kemerdekaan. 
 Hari, jam, menit, bahkan detik ini, kita mesti selalu waspada dan mawas diri.  Penerus para penjajah sementara melancarkan modus dan strategi yang jauh berbeda dari pendahulunya. Namun tujuannya sama: akumulasi, eksplorasi, dan eksploitasi sumber daya alam dan kearifan lokal kita. Modusnya sangat rahasia, senyap, dan tak pernah kita duga. “mirip agen rahasia yang menyusup ke wilayah lawan,” kata KH. Ahmad Baso mengingatkan anak muda  Indonesia tentang bahaya liberalisme (faham kebebasan tanpa kontrol).    
Intelektual India, Vandana Shiva, pernah mengingatkan bangsa-bangsa yang berada di semenanjung Asia, terutama bangsa yang pernah mengalami sejarah kelam penjajahan panjang kolonialisme barat (termasuk India dan Indonesia), bahwa penjajahan kembali dilancarkan dengan gaya dan model baru. Yaitu: kolonialisasi baru (neo-kolonialisme). Apabila kolonialiasi jaman dulu hanya merampas tanah, mereka kembali ke bekas bangsa-bangsa jajahannya untuk merenggut dan merampas seluruh relung-relung kehidupan rakyat yang pernah dijajahnya (Ahmad Baso, 2013: 43).    
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita sebagai generasi penerus bangsa melanjutkan rintisan perjuangan para pahlawan kita? Kemudian senjata apa yang akan kita gunakan untuk melawan penjajahan model baru yang menggunakan senjata liberalisme nan halus serta senyap itu? Bahkan saking dekatnya, lebih dekat dari urat leher kita.  
Kata bijak bestari:  pertanyaan itu bisa terjawab dan jawabannya ada dalam lubuk jiwa hati kita masing-masing. Dimana terdapat ruang, tak satupun kebohongan terkatakan. Terdapat tangga melodi yang tak sebait pun nada kepalsuan terdendangkan. Dan tempat dimana kebenaran hakiki selalu terkumandangkan. Apabila kita menuruti kehendak-Nya, maka tak akan muncul generasi  yang kecopetan akal sehatnya, generasi yang melupakan jasa para pahlawannya, terutama di hari paling sakral dan bersejarah  tanggal 10 November, yang diperingati sebagai HARI PAHLAWAN.
Merdeka......!!!!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar