Teks Oleh :
Muhammad Arif
(Ketua
Umum Persma RADIKAL Unasman)
Kalau anda tidak
kenal Ammana I Wewang To Pole di Balitung, berarti anda bukan pencatat sejarah
kemerdekaan yang cermat di Tanah Mandar. Maraqdia Malolo (panglima) Kerajaan
Balanipa yang dengan gagah berani melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
“Inilah sesungguhnya Ammana I Wewang,” teriak Ammana I Wewang saat ratusan
butir pelor (peluru) berasap menubruk tubuhnya, namun tak sebutir pun yang berhasil
merobohkan dia (M.T. Azis Syah, 1984).
Sewaktu penjajah Belanda menggunakan akal bulusnya untuk menduduki
Tanah Mandar dalam sebuah pertemuan dengan Arajang Balanipa. Kala itu, yang
menjabat sebagai raja adalah To Kape yang merupakan Raja ke-48 Kerajaan
Balanipa. Perundingan deadlock, Raja To Kape kemudian merobek-robek naskah
perjanjian dalam pertemuan itu, karena isinya lebih menguntungkan pihak Belanda.
Sebagai pembesar Kerajaan Balanipa, Ammana I Wewang yang waktu itu mendampingi
Raja To Kape, tanpa berpikir panjang,
langsung bersikap layaknya seorang
panglima perang.
“Tuan-tuan Belanda ini
seperti tidak tahu aturan. Rupanya tuan-tuan ini kurang ajar di negeri kami.
Tuan-tuan ini orang kulit putih tidak berhak mengatur kami. Negeri ini adalah
negeri orang Mandar. Tuan-tuan adalah tamu kami untuk datang berdagang. Kalau
mau berkuasa di Mandar ini, kami tidak terima. Lebih baik tuan-tuan cepat
meninggalkan ruangan ini sebelum saya marah. Ayo, pulang cepat dan kalau tidak,
saya bunuh tuan-tuan di tempat ini,”
teriak Ammana I Wewang sembari menghentakkan kakinya ke tanah dan akhirnya perwakilan Belanda itu pun
meninggalkan tempat pertemuan (M.T. Azis Syah, 1984: 47).
Begitu pun adik kandungnya, Ammana I Pattolawali yang diangkat
menjadi panglima perang di Kerajaan Alu (sekarang masuk dalam wilayah Desa Alu,
Kecamatan Alu, Kabupaten Polewali Mandar). Dia dengan gigih menghalau serangan serdadu
Belanda. Pasukan yang dipimpinnya berguguran dalam pertempuran sengit. Meski hanya
dirinya yang tersisa, dia tetap
melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan.
Ratusan butir peluru tak secuil pun bersarang di tubuhnya. Sebagai
panglima, sejengkal pun pantang bagi
Ammana I Pattolawali untuk gentar apalagi mundur. Na’as, nasib tragis menimpanya, dia tewas
karena kaki dan tangannya dipatahkan serdadu Belanda. Dengan cara itu perlawanannya bisa
dilumpuhkan.
Cerita tentang kepahlawanan di Tanah Mandar juga tak akan lengkap
apabila tidak menyebut nama Syekh KH. Muhammad Thahir atau yang lebih dikenal
dengan gelar Tosalamaq Imam Lapeo. Perjuangannya tak secara langsung berhadapan
(vis a vis) dengan penjajah Jepang dan Belanda. Namun dengan kekuatan strategi,
taktik, karomah dan do’a mustajabnya sebagai seorang aulia.
Imam Lapeo merupakan guru
spritual sekaligus guru ilmu politik dan
taktik bagi pejuang-pejuang di Sulawesi yang biasa mendatanginya dalam kurun
waktu 1942-1950. To Salamaq Imam Lapeo mengajarkan prinsip “Hubbul Wathani
minal iman (cinta tanah air adalah sebagaian dari iman)” yang merupakan senjata
utama diajarkan kepada murid-muridnya (Thahir (1972) dalam Zuhriah, 2013: 47).
Di era pemerintahan Presiden KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) periode 1999-2000, rakyat Indonesia bahkan dunia
internasional mengenal pendekar hukum
sekaliber Baharuddin Lopa, yang waktu itu menjabat sebagai jaksa agung. Tokoh dari
bumi Mandar yang dikenal jujur dan sederhana, mewarisi keberanian para pendahulunya seperti
Ammana I Wewang, Ammana I Pattolawali, Andi Depu, Kolonel HS Mengga, Banru’,
KH. Muhammad Thahir, KH. Muhammad Shaleh, Ahmad Kirang, KH. Sahabuddin, 40.000
jiwa pahlawan yang dibantai Westerling di
panyapuan Galung Lombok, dan
pahlawan-pahlawan yang tak bisa disebut satu persatu dalam tulisan singkat ini.
Dengan darah Mandar yang mengalir di tubuhnya, dia berani membongkar kasus
kejahatan koruptor kelas kakap di republik ini, meski nyawanya harus menjadi
taruhan.
“Mandar
i tau, iya di’o Mandar, andangi tia diang napaturu gengge ana’na, andang diang
biyatta lamba mappagengge tau (kita ini Mandar, yang dikatakan Mandar: tidak
ada yang mengajari anaknya berlaku culas, dan tak ada dalam keluarganya pergi
membohongi orang),“ tegas Baharuddin Lopa, yang waktu itu diwawancarai Surgawan Askari wartawan
Radio Sawerigading FM Wonomulyo, diatas mobil menuju kampung halamannya di Desa, Pambusuang,
Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar.
Ya, kita patut bersyukur, karena
tanpa jasa pahlawan yang telah merampungkan keduniawiannya, yang kesetiannya
kepada apa, bukan kepada siapa, seperti bahasa yang kerap diucapkan penyair
besar Mandar: Husni Djamaluddin, kita
akan selamanya menjadi bangsa kuli, terlunta-lunta, tertindas dan teraniaya,
karena tak pernah menikmati udara segar kemerdekaan.
Hari, jam, menit, bahkan detik ini, kita mesti
selalu waspada dan mawas diri. Penerus
para penjajah sementara melancarkan modus dan strategi yang jauh berbeda dari
pendahulunya. Namun tujuannya sama: akumulasi, eksplorasi, dan eksploitasi
sumber daya alam dan kearifan lokal kita. Modusnya sangat rahasia, senyap, dan
tak pernah kita duga. “mirip agen rahasia yang menyusup ke wilayah lawan,” kata
KH. Ahmad Baso mengingatkan anak muda
Indonesia tentang bahaya liberalisme (faham kebebasan tanpa kontrol).
Intelektual India, Vandana Shiva,
pernah mengingatkan bangsa-bangsa yang berada di semenanjung Asia, terutama
bangsa yang pernah mengalami sejarah kelam penjajahan panjang kolonialisme
barat (termasuk India dan Indonesia), bahwa penjajahan kembali dilancarkan
dengan gaya dan model baru. Yaitu: kolonialisasi baru (neo-kolonialisme).
Apabila kolonialiasi jaman dulu hanya merampas tanah, mereka kembali ke bekas
bangsa-bangsa jajahannya untuk merenggut dan merampas seluruh relung-relung
kehidupan rakyat yang pernah dijajahnya (Ahmad Baso, 2013: 43).
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana
kita sebagai generasi penerus bangsa melanjutkan rintisan perjuangan para
pahlawan kita? Kemudian senjata apa yang akan kita gunakan untuk melawan penjajahan
model baru yang menggunakan senjata liberalisme nan halus serta senyap itu?
Bahkan saking dekatnya, lebih dekat dari urat leher kita.
Kata bijak bestari: pertanyaan itu bisa terjawab dan jawabannya
ada dalam lubuk jiwa hati kita masing-masing. Dimana terdapat ruang, tak
satupun kebohongan terkatakan. Terdapat tangga melodi yang tak sebait pun nada
kepalsuan terdendangkan. Dan tempat dimana kebenaran hakiki selalu
terkumandangkan. Apabila kita menuruti kehendak-Nya, maka tak akan muncul
generasi yang kecopetan akal sehatnya,
generasi yang melupakan jasa para pahlawannya, terutama di hari paling sakral
dan bersejarah tanggal 10 November, yang
diperingati sebagai HARI PAHLAWAN.
Merdeka......!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar