
Teks Oleh : Amri L Mallu (Kordinator Jaringan dan Konsolidasi Persma RADIKAL UNASMAN)
Tepat pukul 17.30, senja mulai menampakkan wajahnya di ufuk barat. Saat itu, tanggal 10 november 2014 diperingati sebagai hari pahlawan. Hari dimana seluruh rakyat Indonesia mengenang jasa para pahlawan yang mempertahankan bumi Indonesia melawan agresi penjajah.
Dan bertepatan di hari bersejarah itu, RADIKAL bertandang ke kediaman Sasyono (48) yang berdomisili di Lingkungan Kiri-kiri, Kelurahan Darma, Kecamatan Polewali. Kabupaten Polewali Mandar. Dengan penuh keramahan dia yang berprofesi sebagai PNS di kantor Dinas Kesehatan Pemerintahan Kabupaten Polewali Mandar ini, memberi sambutan hangat sembari menyuguhkan segelas kopi hitam di meja .
Dengan suasana santai, proses wawancara pun dimulai. Saat ditanya tentang perjuangan Demmatande, pahlawan bumi Kondosapata Mamasa, spontan Sasyono menghela napas yang agak dalam. Ia kemudian menceritakan sejarah Demmatande sebagai tokoh pejuang pra-kemerdekaan tahun 1915 dari wilayah Palada, yang dengan gagah berani melawan agresi Belanda.
“Demmatande adalah sosok pejuang tanpa pamrih yang berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mempertahankan daerahnya menghadapi penjajah kolonial belanda, serta memiliki komitmen dan semangat juang yang tinggi yang tak pernah memikirkan dirinya sendiri,” tutur Sasyono yang juga masih menjadi kerabat dari Demmatande ini.
Salah satu jejak yang ditinggalkan Demmatande adalah semangat perjuangannya yang kemudian menjadi falsafah hidup kekuatan rakyat Mamasa yang dikenal dengan semboyan “ mesa kada dipotuo, pantang kada dipomate”.
“maksudnya mesa kada dipotuo pantang kada dipomate adalah semangat persatuan yang dibangun untuk melawan musuh, apabila tidak ada persatuan kita akan kalah, itulah prinsip yang dipakai sampai sekarang dan nilai-nilai inilah yang masih tertanam dan menjadi bagian dari kehidupan bagi masyarakat mamasa”tambah Sasyono.
Diceritakan Sasyono, sebuah pusara (kuburan) yang terbuat dari kayu berbentuk kerbau dibuat Demmatande dan sengaja dipersiapkan sebelum berperang melawan belanda. Pusara tersebut dikenal dengan nama Liang Tedong-Tedong yang berhadapan langsung dengan benteng pertahanan Salu Banga yang terletak di wilayah Palada.
Dalam proses perjuangannya, Demmatande mengalami hal tragis karena dia tertangkap dan ditawan oleh belanda. “Dia pun tak pernah kembali lagi. Dan tidak diketahui keberadaannya. Pusara yang telah dipersiapkan pun tak berfungsi sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya, yaitu sebagai tempat pemakamannya apabila ia tewas dalam peperangan,” ujar Sasyono menambahkan.
Ditempat terpisah, Mandan (75) warga Kelurahan Darma, Kecamatan Anreapi, Kabupaten Polewali Mandar, yang juga masih memiliki garis keturunan dengan Demmatande, yang juga banyak mengetahui tentang sejarah perjuangannya, mengutarakan bahwa salah satu semangat dan nilai perjuangan dari Demmatande adalah Demmatande tidak menerima masuknya penjajah ke daerahnya karena penjajah membawa ajaran yang tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat saat itu.
“Kedatangan penjajah, ingin merubah struktur adat dan kebiasaan penduduk lokal yang masih meyakini dan mempercayai tradisi dari nenek moyangnya yang telah diwariskan secara turun temurun. Makanya dalam mempertahankan daerahnya dari penjajah Demmatande mempelopori pembuatan Benteng Salubanga sebagai bentuk perlawanan dan membuat para penjajah merasa resah dengan bentuk perlawanan seperti itu, ” ujar Mandan.
Daeni, SPd (48), dosen di Universitas Al-Asyariah Mandar (Unasman) yang sangat termotivasi dengan sejarah perjuangan Demmatande, saat berdiskusi dengan RADIKAL di pelataran kampus Unasman, pun berpendapat demikian. Dia menegaskan bahwa sosok Demmatande adalah pejuang yang menjujung tinggi nilai persatuan dan penghargaannya yang tinggi terhadap tradisi nenek moyang.
“Itulah alasan mengapa Demmatande dengan gigih berjuang melawan penjajah dan kata menyerah tidak akan pernah di ucapkannya, karena hadirnya para penjajah sudah diketahui membawa cara-cara yang tak manusiawi dan mau mengadu domba penduduk serta menghilangkan warisan kearifan lokal warisan nenek moyang” ujar Daeni SPd yang saat itu menjelaskan penuh dengan semangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar