Oleh : Ahmady Haenur (Kordinator. Teknologi dan Informasi RADIKAL UNASMAN)
Tak
seperti kemarin, dimulai malam sampai pagi, air dari langit urung menyirami
bumi. Seakan langit merindukan bumi. Entah rahasia apa dibalik itu semua, mungkin
saja Langit sedang menyapa bumi sebab ketika leher menengadah keatas awan putih
biru itu, terlintas dibenak kita bahwa langit tetap dengan keceriaannya. Sedangkan
bumi, pada saat pandangan mengarah kebawah, maka yang disaksikan, bagaikan manusia
kehilangan harapan.
Antara
langit dan bumi, jarak pisahnya yang begitu tak terhingga dikelopak mata,
mengajarkan saya untuk saling menyapa satu sama lain sebagai mahkluk ciptaan-NYA.
Sadarkah kita akan hal ini..? Mari direnungkan bersama-sama. Karena banyak
makna dibalik ini semua tetapi boleh jadi tidak sempat terfikirkan.
Dinginnya
suasana pagi hari ini sambil mengusap mataku setelah rasa ngantuk dan lelahku
telah kulampiaskan pada malam itu juga, kulihat disekelilingku, diatas meja
terdapat asbak berisi 7 puntung rokok, didinding tertempel kertas -kertas hasil
coretan para jurnalis.
Kelipan-kelipan
mataku tanda bahwa rasa ngantuk masih terasa, menoleh kesamping kiri dan
kananku, kusadari ternyata hanya empat orang crew Radikal terlelap didinginnya
pagi pada saat itu. Subhanallah... Kataku. terlintas difikiranku, luar biasa
perjuangan Sahabat-sahabatku ini, lebih memilih berproses (belajar) dan tinggal
di ruangan berdindingkan bambu, atap dari anyaman kampung tidak seperti
bangunan megah beralaskan keramik. Mereka benar-benar memiliki kesungguhan
dalam berjuang.
Tanpa
melupakan sahabat-sahabatku, kami dari lima belas crew Radikal, yang lain
sepertinya sibuk dengan amanah atau tanggung jawab masing-masing. Empat
diantara kami siang malam tidak lepas mendiskusikan masalah kegiatan dan
penerbitan. Akan tetapi, apapun itu, ketika kita disandingkan tanggung jawab,
maka bagaimanapun dinamikanya, baik atau buruk, suka atau tidak suka, begitulah
proses. Selain dapat membentuk karakter manusia, hasilnya pula bisa kita
rasakan.
Saya
pun bergegas mengambil air putih, paling tidak mengisi perut kosong, karena
ruangan kecil itu tidak menyediakan makanan enak seperti diwarung-warung.
Itupun kalau ingin makan enak, jalan satu-satunya adalah rumah karena rumah
adalah Istanaku. Setelah itu, kulangkahkan kaki menuju mushollah kampus
Universitas Al-Asy'ariah Mandar seraya ingin membasuh wajah lusuh yang sudah
dua hari ini tidak mandi.
Habis
itu, kuraba saku celanaku, kudapat ada uang receh, cukup untuk membeli
sebungkus rokok tembakau. Harganya pun sangat murah dibanding dengan lainnya.
Sesampainya di sekret, tadinya celanaku terlihat bersih, namun kotor terkena
kotoran. Akhirnya, kugantikan pula dengan sarung kepunyaan salah satu sahabatku (Amri) yang
bergelantungan dibawah atap jerami itu.
Berhubung
karena mereka berempat tak kunjung bangun, maka kugunakan kesempatan ini untuk
jalan-jalan ke kantin sebelah sebelum pertempuran dimulai lagi.
Alhamdulillaahh... Ibu kantin yang baik hati, memberiku segelas kopi hitam
disertai pisang goreng. Sangat nikmat minuman berwarna hitam diselingi rokok
tak berfilter. Suatu berkah titipan dari Maha Kuasa kala itu.
Seseduh
kopi hitam, memberiku semangat untuk menuliskan beberapa kalimat ditiap
paragraf pada tempat sederhana ini. Sembari melihat-lihat mahasiswa
bergerayangan dipelataran kampus Universitas Al-Asy'ariah Mandar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar