Selasa, 06 Januari 2015

CERITAKU DI RADIKAL





Oleh : Ahmady Haenur (Kordinator. Teknologi dan Informasi RADIKAL UNASMAN)

Tak seperti kemarin, dimulai malam sampai pagi, air dari langit urung menyirami bumi. Seakan langit merindukan bumi. Entah rahasia apa dibalik itu semua, mungkin saja Langit sedang menyapa bumi sebab ketika leher menengadah keatas awan putih biru itu, terlintas dibenak kita bahwa langit tetap dengan keceriaannya. Sedangkan bumi, pada saat pandangan mengarah kebawah, maka yang disaksikan, bagaikan manusia kehilangan harapan.

Antara langit dan bumi, jarak pisahnya yang begitu tak terhingga dikelopak mata, mengajarkan saya untuk saling menyapa satu sama lain sebagai mahkluk ciptaan-NYA. Sadarkah kita akan hal ini..? Mari direnungkan bersama-sama. Karena banyak makna dibalik ini semua tetapi boleh jadi tidak sempat terfikirkan.

Dinginnya suasana pagi hari ini sambil mengusap mataku setelah rasa ngantuk dan lelahku telah kulampiaskan pada malam itu juga, kulihat disekelilingku, diatas meja terdapat asbak berisi 7 puntung rokok, didinding tertempel kertas -kertas hasil coretan para jurnalis.

Kelipan-kelipan mataku tanda bahwa rasa ngantuk masih terasa, menoleh kesamping kiri dan kananku, kusadari ternyata hanya empat orang crew Radikal terlelap didinginnya pagi pada saat itu. Subhanallah... Kataku. terlintas difikiranku, luar biasa perjuangan Sahabat-sahabatku ini, lebih memilih berproses (belajar) dan tinggal di ruangan berdindingkan bambu, atap dari anyaman kampung tidak seperti bangunan megah beralaskan keramik. Mereka benar-benar memiliki kesungguhan dalam berjuang.

Tanpa melupakan sahabat-sahabatku, kami dari lima belas crew Radikal, yang lain sepertinya sibuk dengan amanah atau tanggung jawab masing-masing. Empat diantara kami siang malam tidak lepas mendiskusikan masalah kegiatan dan penerbitan. Akan tetapi, apapun itu, ketika kita disandingkan tanggung jawab, maka bagaimanapun dinamikanya, baik atau buruk, suka atau tidak suka, begitulah proses. Selain dapat membentuk karakter manusia, hasilnya pula bisa kita rasakan.

Saya pun bergegas mengambil air putih, paling tidak mengisi perut kosong, karena ruangan kecil itu tidak menyediakan makanan enak seperti diwarung-warung. Itupun kalau ingin makan enak, jalan satu-satunya adalah rumah karena rumah adalah Istanaku. Setelah itu, kulangkahkan kaki menuju mushollah kampus Universitas Al-Asy'ariah Mandar seraya ingin membasuh wajah lusuh yang sudah dua hari ini tidak mandi.

Habis itu, kuraba saku celanaku, kudapat ada uang receh, cukup untuk membeli sebungkus rokok tembakau. Harganya pun sangat murah dibanding dengan lainnya. Sesampainya di sekret, tadinya celanaku terlihat bersih, namun kotor terkena kotoran. Akhirnya, kugantikan pula dengan sarung kepunyaan  salah satu sahabatku (Amri) yang bergelantungan dibawah atap jerami itu.

Berhubung karena mereka berempat tak kunjung bangun, maka kugunakan kesempatan ini untuk jalan-jalan ke kantin sebelah sebelum pertempuran dimulai lagi. Alhamdulillaahh... Ibu kantin yang baik hati, memberiku segelas kopi hitam disertai pisang goreng. Sangat nikmat minuman berwarna hitam diselingi rokok tak berfilter. Suatu berkah titipan dari Maha Kuasa kala itu.

Seseduh kopi hitam, memberiku semangat untuk menuliskan beberapa kalimat ditiap paragraf pada tempat sederhana ini. Sembari melihat-lihat mahasiswa bergerayangan dipelataran kampus Universitas Al-Asy'ariah Mandar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar