Teks Oleh : Saddam Husein (Wakil Ketua Umum RADIKAL Unasman)
“mua’ landuro’o anna’
mallambi’o tau maroa’, pa’balui nasangi gollamu, dian tu’u dio doi’ di bate-bate
nasamboi talimbangan (jika engkau melihat orang ramai sementara menumbuk,
juallah semua gulamu, ada uang diatas bate-bate
yang di tutupi kulit dari pohon tadu).
Petunjuk tersebut
diucapkan seorang pak tua, memakai
kopiah putih dengan sorban kuning yang dikenakan, memberi petunjuk kepada
seorang penjual gula merah. Tanpa sempat mengucapkan sepatah kata, si penjual
gula merah melanjutkan perjalanan
dibawah terpaan teriknya matahari yang cukup menyengat.
Sesuai
petunjuk pak tua tersebut, si penjual
gula merah, kemudian mendapati kerumunan orang banyak yang sedang menumbuk
terigu. Tanpa berpikir panjang, dihampirinya kerumunan orang tadi, sembari
menceritakan pertemuannya dengan sesosok pak tua.
Kerumunan orang
itu tampak heran dan tak begitu yakin karena orang tua yang diceritakan
ternyata sudah lama meninggal. Mereka mengetahui siapa orang tua itu. Kemudian,
si penjual gula merah kemudian mengecek uang yang tersimpan diatas atap sesuai petunjuk
si pak tua tadi. Syahdan, orang-orang yang berada disitu kembali heran dan
terkesima.
Yang paling
membuat heran, karena yang menemui si penjual gula merah dalam perjalanannya
tadi, adalah: Syekh KH. Muhammad Idris. Waktu itu, dia telah wafat. Ulama ini merupakan pembawa syiar Islam di
daerah Luyo dan sekitarnya sebelum abad ke 12. Petilasan (makam) sang waliullah
bisa kita jumpai di Desa Puccadi, Kecamatan Luyo, Kabupaten Polewali
Mandar.
Cerita tentang
perjumpaan si penjual gula merah dengan Syekh KH. Muhammad Idris adalah cerita
turun-temurun yang menjadi keyakinan warga Desa Puccadi dan warga Kecamatan
Luyo pada umumnya.Dari cerita itulah kemudian yang membuat Syekh KH. Muhammad
Idris diberi gelar: Tosalama di Beluwu. Gelar yang diberikan warga Puccadi dan
kecamatan Luyo kepadanya
“Cerita itu merupakan
pepasang pole tomawuwetta ( pesan dari orang tua terdahulu) yang sudah turun-temurun
dan kami sangat yakini,” ujar Hj. Andi Rasanah Patta Lolo, warga dusun Mambu
Timur, Desa Luyo, Kecamatan Luyo, yang membenarkan cerita tersebut. Saat itu,
RADIKAL bertandang di kediamannya, sabtu (14/11.)
Makam Syekh KH.
Muhammad Idris ini memang biasa ramai didatangi para pengunjung. Ada dari
Polewali, Majene, Tutar, bahkan dari Makassar. Mereka datang untuk ngalap
berkah di makam.
Sakka Aco,
imam mesjid Puccadi, Kecamatan Luyo,
mengatakan, biasanya hari senin dan kamis peziarah itu banyak yang berdatangan. “Biasanya dalam perhari itu
kurang lebih 50 orang,” tutur Sakka Aco,
yang juga diamanahi untuk menjadi juru kunci makam.
Dari
keterangan Sakka Aco, RADIKAL mendapatkan informasi tentang cerita seorang
tentara berpangkat sersan yang berdomisili di Dusun Sila-sila, Desa Kurma,
Kecamatan Mapilli. Tahun 1997, tentara
tersebut ditugaskan di timor timur (sekarang Timor Leste) yang
berstatus sebagai daerah konflik. Sebelum berangkat, dia terlebih dahulu
menyempatkan waktunya untuk berziarah di makam Syekh KH. Muhammad Idris. Dan
selama bertugas di Timor Timur, ingatannya selalu tertuju kepada Syekh.KH.
Muhammad Idris. Atas pertolongan Allah Swt, dia pun selamat hingga kembali kampung
halamannya.
Pua Sunusi, warga Puccadi lainnya, yang
kebetulan rumahnya berdekatan dengan makam Syekh. KH. Muhammad Idris, menceritakan bahwa pada tahun 1987 banjir
bandang menerjang hampir seluruh pemukiman di kabupaten Polewali Mamasa. Tak
terkecuali wilayah Puccadi’. Sungai Mapilli membanjiri wilayah perkampungan dan
menghanyutkan rumah-rumah penduduk. Namun mengherankan bagi warga, karena makam
Syekh KH. Muhammad Idris malah dalam kondisi seperti sedia kala. Kejadian
tersebut semakin menambah keyakinan warga tentang keberkahan Syekh. KH.
Muhammad Idris.