
Selasa, 10 Februari 2015
MAHASISWA TUNTUT REKTOR PENUHI JANJI
Teks oleh : Marwa
- Rifai: Minta Transparansi Anggarang. Pembangunan
- Periode Kedua, Hanya Mimpi
- Sholihin: Mahasiswa Jangan Ikut Campur
UNASMAN RADIKAL - Puluhan Mahasiswa Universitas Al-asy'ariah Mandar (UNASMAN) melakukan aksi demonstran sebagai bentuk kekecewaanya kepada pihak kampus yang tak kunjung melanjutkan pembangunan Kampus hingga saat ini.
Gemuruh suara terhentak lantang dengan nada yang penuh semangat di pelataran kampus biru Universitas Al-Asyariah Mandar Jln Budi Utomo senin (12/1) suara itu lahir dari salah satu Mahasiswa yang melakukan orasi dan menuntut Rektor UNASMAN Dra.Hj.Chuduriah Sahabuddin di periode keduanya untuk serius melanjutkan pembangunan Kampus Biru sesuai janji-janjinya saat di lantik kembali sebagai Rektor UNASMAN.
"Universitas Al-asy'ariah mandar adalah kampus yang kami harapkan mampu menjadi salah satu kampus yang mencetak anak bangsa yang mampu berdaya saing ternyata tinggal harapan, dan kami menuntut kepada Rektor Unasman untuk memenuhi janji-janjinya dalam membangun kampus biru yang lebih baik sepeerti layaknya sebuah Universitas-Universitas di Indonesia. "Ujarnya
Rifai selaku Mahasiswa merasa hanya di jadikan sebuah pelengkap untuk memenuhi syarat sebuah Universitas namun hak-hak sebagai seorang Mahasiswa tak dapat di dirasakannya dengan penuh, di karenakan manajemen Universitas yang masih di anggap lemah dan kurang baik.
"Mahasiswa hanya dijadikan sebagai lahan untuk memenuhi kebutuhan pribadi bukan tujuan untuk sebuah pengembangan pendididkan dalam lingkup Universitas." Tegas Rifai dalam orasinya
Sejauh ini, mata memandang pembangunan kampus biru yang telah bertahun-tahun sudah seharusnya di rasakan para Mahasiswanya dengan fasilitas yang memadai, tetapi beberapa gedung setengah jadi hanya menjadi tempat tumbuhnya tumbuhan liar, tak mendapat perhatian serius dari pihak Kampus untuk melanjutkan dan membenahi Kampus yang sangat di idolakan oleh masyarakat polewali mandar.
Olehnya itu, Rifai sangat menyesalkan pihak kampus yang tak benar-benar serius memperhatikan pembangunan UNASMAN. Padahal lahirnya UNASMAN adalah sebagai syarat terbentuknya provensi sulawesi barat, dan sangat di sayangkan pengelolaan UNASMAN menyisahkan pertanyaan, dan Rifai pun juga meminta transparansi anggaran pembangunan UNAMAN selama ini.
"Dimana pembangunan kampus yang seharusnya tuntas dan layak pakai tenyata masih menyisahkan beribu pertanyaan di benak kami, kemana semua anggaran pembangunan, kami butuh transparansi pihak kampus. Sesalnya
Harapan Rifai sebagai Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi semester V
Kampus yang di tempatinya menimba Ilmu pengetahuaan tak seperti yang ia bayangkan seperti layaknya di Universitas besar lainya.
"Kampus yang kami harapkan bisa menciptakan manusia yang sadar ternyata hanyalah sebuah impian belaka, gedung yang dua tingkat sebanyak dua belas kelas belum selesai di bangun sampai hari ini dan seharusnya sudah terselesaikan pembangunan di 2010 di akhir bulan agustus. Ucap Rifai
Harapan Mahasiswa untuk mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai seorang Mahasiswa di UNASMAN yang di sampaikan melalui sebuah orasi, hanya mendapat respon yang tak memuaskan dari Kabag Humas UNASMAN Sholihin, dirinya meminta kepada Mahasiswa untuk tidak berkicau soal pembangunan Kampus.
"Mahasiswa tidak usah campuri atau mengkritisi pembangunan kampus lah, cukup belajar saja. Tutupnya
Suka ·

Rabu, 07 Januari 2015
Syekh KH. Muhammad Idris (Tosalama di Beluwu) Berkahnya Selalu diburu Peziarah
Teks Oleh : Saddam Husein (Wakil Ketua Umum RADIKAL Unasman)
“mua’ landuro’o anna’
mallambi’o tau maroa’, pa’balui nasangi gollamu, dian tu’u dio doi’ di bate-bate
nasamboi talimbangan (jika engkau melihat orang ramai sementara menumbuk,
juallah semua gulamu, ada uang diatas bate-bate
yang di tutupi kulit dari pohon tadu).
Petunjuk tersebut
diucapkan seorang pak tua, memakai
kopiah putih dengan sorban kuning yang dikenakan, memberi petunjuk kepada
seorang penjual gula merah. Tanpa sempat mengucapkan sepatah kata, si penjual
gula merah melanjutkan perjalanan
dibawah terpaan teriknya matahari yang cukup menyengat.
Sesuai
petunjuk pak tua tersebut, si penjual
gula merah, kemudian mendapati kerumunan orang banyak yang sedang menumbuk
terigu. Tanpa berpikir panjang, dihampirinya kerumunan orang tadi, sembari
menceritakan pertemuannya dengan sesosok pak tua.
Kerumunan orang
itu tampak heran dan tak begitu yakin karena orang tua yang diceritakan
ternyata sudah lama meninggal. Mereka mengetahui siapa orang tua itu. Kemudian,
si penjual gula merah kemudian mengecek uang yang tersimpan diatas atap sesuai petunjuk
si pak tua tadi. Syahdan, orang-orang yang berada disitu kembali heran dan
terkesima.
Yang paling
membuat heran, karena yang menemui si penjual gula merah dalam perjalanannya
tadi, adalah: Syekh KH. Muhammad Idris. Waktu itu, dia telah wafat. Ulama ini merupakan pembawa syiar Islam di
daerah Luyo dan sekitarnya sebelum abad ke 12. Petilasan (makam) sang waliullah
bisa kita jumpai di Desa Puccadi, Kecamatan Luyo, Kabupaten Polewali
Mandar.
Cerita tentang
perjumpaan si penjual gula merah dengan Syekh KH. Muhammad Idris adalah cerita
turun-temurun yang menjadi keyakinan warga Desa Puccadi dan warga Kecamatan
Luyo pada umumnya.Dari cerita itulah kemudian yang membuat Syekh KH. Muhammad
Idris diberi gelar: Tosalama di Beluwu. Gelar yang diberikan warga Puccadi dan
kecamatan Luyo kepadanya
“Cerita itu merupakan
pepasang pole tomawuwetta ( pesan dari orang tua terdahulu) yang sudah turun-temurun
dan kami sangat yakini,” ujar Hj. Andi Rasanah Patta Lolo, warga dusun Mambu
Timur, Desa Luyo, Kecamatan Luyo, yang membenarkan cerita tersebut. Saat itu,
RADIKAL bertandang di kediamannya, sabtu (14/11.)
Makam Syekh KH.
Muhammad Idris ini memang biasa ramai didatangi para pengunjung. Ada dari
Polewali, Majene, Tutar, bahkan dari Makassar. Mereka datang untuk ngalap
berkah di makam.
Sakka Aco,
imam mesjid Puccadi, Kecamatan Luyo,
mengatakan, biasanya hari senin dan kamis peziarah itu banyak yang berdatangan. “Biasanya dalam perhari itu
kurang lebih 50 orang,” tutur Sakka Aco,
yang juga diamanahi untuk menjadi juru kunci makam.
Dari
keterangan Sakka Aco, RADIKAL mendapatkan informasi tentang cerita seorang
tentara berpangkat sersan yang berdomisili di Dusun Sila-sila, Desa Kurma,
Kecamatan Mapilli. Tahun 1997, tentara
tersebut ditugaskan di timor timur (sekarang Timor Leste) yang
berstatus sebagai daerah konflik. Sebelum berangkat, dia terlebih dahulu
menyempatkan waktunya untuk berziarah di makam Syekh KH. Muhammad Idris. Dan
selama bertugas di Timor Timur, ingatannya selalu tertuju kepada Syekh.KH.
Muhammad Idris. Atas pertolongan Allah Swt, dia pun selamat hingga kembali kampung
halamannya.
Pua Sunusi, warga Puccadi lainnya, yang
kebetulan rumahnya berdekatan dengan makam Syekh. KH. Muhammad Idris, menceritakan bahwa pada tahun 1987 banjir
bandang menerjang hampir seluruh pemukiman di kabupaten Polewali Mamasa. Tak
terkecuali wilayah Puccadi’. Sungai Mapilli membanjiri wilayah perkampungan dan
menghanyutkan rumah-rumah penduduk. Namun mengherankan bagi warga, karena makam
Syekh KH. Muhammad Idris malah dalam kondisi seperti sedia kala. Kejadian
tersebut semakin menambah keyakinan warga tentang keberkahan Syekh. KH.
Muhammad Idris.
BEDAH BUKU "AGAMA NU UNTUK NKRI “
Teks Oleh : Nuradlia (Bendahara Umum RADIKAL Unasman)
Menikmati hembusan angin sembari menatapsenja, sore tadi di pelataran kampus tepatnya antara gedung Fisip dan Gedung Pertanian, dibawah payung-payung taman di kampus biru Unasman.
Menyaksikan para Kru Radikal Unasman dengan wajah yang berseri-seri dan alunan suara yang lunglai tapi tak berirama, berseru memperbincangkan tentang buku yang berjudul “AGAMA NU Untuk NKRI, yang penulisnya adalah seorang tokoh yaitu KH. Ahmad Baso, tokoh NU yang namanya cukup populer.
Berbicara tentang NU, salah seorang peserta diskusi memberi tanggapan bahwa islam yang dibawa oleh para ulama – ulama kedalam bangsa indonesia itu melalui pesantren. Mengapa demikian, sebab di pesantren itu mengajarkan tentang islam nusantara, kekuatan neo liberal, kekuatan individu, kekuatan arab, dan semangat kolektivitas. Bahkan eksistensi bangsa indonesia kini merupakan implementasi dari pesantren.
Agama NU mengajarkan tentang Ukhwuwah islamiah, Ukhwuwah wataniah, Dan Ukhwuwah insaniyah Sebagai penggerak masyarakat untuk menggelar revolusi kemerdekaan bangsa.
Selain itu, salah seorang sahabat senior juga menambahkan pelajaran baru bagi para Kru bahwa NU tidak mempermasalahkan asal-usul, tetapi NU ialah bagaimana kita diajarkan untuk menghargai perbedaan.
Meninjau kembali isi buku, permasalahan yang terjadi saat ini ialah minimnya pengetahuan masyarakat tentang cara menghargai pendapat, diakibatkan karena kehadiran para ulama di zaman sekarang ini satu persatu sudah mulai melemah.
Yang dulu dimana tradisi – tradisi adat seperti barzanji, dan lain sebagainya telah menjadi karakteristik kebudayaan di daerah mandar khususnya dan di beberapa daerah lainnya, kini sangat jarang yang melakoninya, bahkan ada pula daerah yang melarang masyarakatnya melakukan kegiatan barzanji dan musik-musik marawis tersebut.
Fakta ini sangat memprihatinkan. Semenjak masuknya faham –faham Neo-Liberalisme dari barat yang dulunya mengenai perampasan hak,tanah, dll, kini berwujud penjajahan politik Ekonomi. Dan inilah yang sangat berbahaya, seakan-akan ingin menghapus jejak-jejak para ulama.
Kata pandanisapa” merajalelanya pengetahuan merampas seluruh kehidupan”. Diberlakukannya UU perlindungan anak jika dikaitkan dengan konterks pendidikan malah membuat kenakalan si anak tersebut semakin merajalela, tidak ada pembentukan kerakter yang dialami para siswa. Alhasil, seolah sangat jarang para siswa metawe’ di hadapan gurunya. Malah yang paling parah, ada kejadian seorang anak memperkosa ibu kandungnya sendiri.
Ini sebagai bukti bahwa yang dialami bangsa indonesia saat ini telah dijejaki oleh masuknya paham-paham liberal.
Inilah mengapa para kru radikal semangatnya berkobar-kobar ketika berdiskusi tentang isi dari buku NU tersebut, agar mereka dapar melihat dan merasakan lansung betapa hebatnya orang-orang barat menciptakan suatu produk yang diperoleh dari bangsa kita lalu menjualnya kembali menjadi produk yang siap pakai.
tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan dan banyak terdapat kesalahan-kesalahan dalam kepenulisan dan berbagai kekurangan-kekurangan. olehnya itu, buat saudara-saudaraku mohon kritikan dan sarannya. Terimakasih,
Wallahul Muafieq iLa aqwamittharikh,
Wassalam,,,,,,,,,
Selasa, 06 Januari 2015
SDN 001 Tinambung BAHARUDDIN LOPA PUN SEKOLAH DISINI
Teks Oleh : Muhammad Sukri (Kordinator Divisi Data dan Kesekretariatan RADIKAL Unasman)
“Saya
tidak mengetahui bagaimana sosok Baharuddin Lopa, dan bahkan saya baru
mengetahui nama itu,” ujar Hera saat berbincang dengan RADIKAL di pekarangan
SDN 001 Tinambung. Kamis (13/11).
Hera
adalah siswi SDN 001 Tinambung, saat itu ditanya tentang siapa itu Baharuddin
Lopa, siswa tersebut mengaku tak mengenal nama itu. Bahkan nama itu sangat
asing ditelinganya.
Saat
RADIKAL bertandang ke SDN 001 Tinambung,
disela waktu istirahat belajar siswa, disambut hangat oleh guru-guru,. “kami belum mengetahui kalau sebenarnya
Baharuddin Lopa pernah sekolah disini, apalagi
sebagian besar baru bertugas disini, “ ujar salah satu guru yang tidak
meyebut namanya.
Keistimewaan
yang dimiliki Baharuddin Lopa, selain dari didikan orang tua, di tempat dia
mengenyam pendidikan dasar juga memiliki
kontribusi yang besar untuk menempa dirinya sebagai sosok yang disegani. Dia
mengenyam pendidikan dasar di SDN 001 Tinambung, Kelurahan Tinambung Kecamatan
Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar.
Sekolah
ini berdiri pada tahun 1928. Sekolah ini
berada tepat didepan masjid raya Tinambung, sebelah selatan bekas lokasi pasar lama Tinambung yang telah
dipindahkan ke Lingkungan Kandeapi Kelurahan Tinambung. Letak sekolah itu
sangat strategis, sebab berada di pusat keramaian warga. Hanya
berjarak sekitar 100 meter jalan poros
trans Sulawesi. Yang menarik dari SDN
OO1 Tinambung ini, karena bangunannya menyatu dengan SDN OO2 Tinambung. Kedua
sekolah ini berada dalam satu pekarangan yang sama. Pihak kedua sekolah ini
saling rukun dan damai. Tak pernah terdengar konflik
“
Iya, Baharuddin Lopa memang pernah sekolah di SDN 001 Tinambung, waktu jaman
penjajahan Belanda. Kami sangat bangga dengan
kiprah dan jejak rekam beliau. Dan yang paling teristimewa, beliau pernah
menempuh pendidikan di SDN 001 Tinambung, tapi saat itu nama sekolah bukan SDN
001, tapi Sekolah Rakyat, ” ujar Drs. H. Muhammad Rusli, yang pernah menjadi
kepala sekolah SDN 001 Tinambung tahun 1989 hingga 1990.
Siapa
tak kenal Baharuddin Lopa. Tokoh populer
yang namanya masyhur ke penjuru dunia. Ia begitu dikenal sebagai manusia yang
jujur, pemberani, sederhana, dan religius.
Putera asli Desa Pambusuang,
Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar. Dia pernah menjabat sebagai jaksa agung.
Tahun 2000 ia menjabat sebagai menteri
hukum dan HAM di era pemerintahan presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
serta jabatan yang diemban terakhir yaitu Duta Besar untuk Negara kaya minyak,
Arab Saudi. Jabatan itu adalah jabatan terakhir yang diemban hingga akhir
hayatnya.
Saat menjabat sebagai
jaksa agung, ia dikenal berani membongkar kasus kejahatan dan korupsi yang melibatkan koruptor kelas kakap di
Republik ini. Salah satunya kasus korupsi yang melibatkan “keluarga Cendana”. Bisnis
keluarga penguasa Orde Baru, mantan Presiden Soeharto. Jaksa agung yang dikenal sebagai perokok
berat ini, tak gentar sedikit pun dengan nama besar keluarga yang beralamat di
Jalan Cendana, Jakarta ini.
MUSTABI NASOUTY, ABDINYA DILUPAKAN
Teks Oleh : Mirnawati (Sekretaris Umum RADIKAL Unasman)
Rambut
sudah memutih, sorotan mata yang tajam,
serta tubuh yang tak lagi tegak seperti dulu yang kekar dan kuat, karena kini
telah termakan usia.
Mustabi
Nasouty atau yang lebih akrab di sapa Pak Mus lahir di kota Pare-Pare, 1922. Dulu bekerja sebagai arsitektur
bangunan, juga seorang guru di masa penjajahan Belanda.
Pak
Mus berdomisili di Lingkungan 1 Batu Taka, Kecamatan Tapango, Kabupaten
Polewali Mandar. Hidup di sebuah rumah berukuran kecil, dengan dinding papan
dan kardus seadanya, tanpa listrik penerangan. Kehidupannya bisa dikatakan sangat
kurang layak.
Pak
Mus yang dulu mengabdikan dirinya pada negara dan bangsa, kini tak lagi di
lirik oleh Pemerintah baik kabupaten maupun provinsi. "Kami pernah di
janji biaya pembangunan rumah layak
huni, pemasangan listrik gratis dan kursi roda pada tahun 2011, tapi sampai
saat ini baru kursi roda yang kami terima dari bapak Drs. H. Anwar Adnan Saleh
selaku Gubernur SulBar, itu pun tiga tahun setelah di janji baru ada,"
ungkap Dawiah Istri ke-17 Pak Mus.
Awal
mula menjadi Arsitek bangunan atas inisiatif sendiri, karena melihat jembatan
di Batu Taka sudah tidak layak pakai, maka Pak Mus dan beberapa orang temannya mulai
membangun. Berawal dari situ Pak Mus sering di panggil oleh pemerintah untuk
membangun beberapa bangunan di Sulawesi diantaranya SD Tumpiling tahun 1976,
dermaga pantai Polewali, jembatan - jembatan yg ada di Kabupaten Mamuju, Kota Palu
Sulawesi Tengah, dan Bone Sulawesi Selatan. Pak Mus pernah Kuliah di salah satu
Universitas di Medan dan kursus Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, dan Bahasa
Jepang, serta ikut dalam akademi seni di Yogjakarta.
"Saya
pernah menjadi guru Bahasa Jepang di Mangkoso selama dua tahun dan beberapa
organisasi di luar Sulawesi selama penjajahan Belanda, serta sempat berpose
bersama dengan B.J Habibie," ujar Pak Mus gagap, dengan intonasi yang kurang jelas
akibat terserang strocke beberapa tahun lalu.
Gessa
(70) warga Lingkungan Pelitakan, Kecamatan Tapango, menuturkan bahwa hampir
seluruh warga yang ada di Pelitakan mengetahui perjuangan Pak Mus untuk
mengabdi kepada bangsa dan negara.
“iya,
beliau itu adalah seorang pejuang yang banyak mengabdi kepada bangsa dan negara
ini,” ujar Gessa singkat.
Tri
Ilham (22), salah seorang pemuda kecamatan Tapango, berharap perhatian serius
leading sector yang membidangi perhatian terhadap para pejuang yang berjasa
terhadap bangsa dan negara, baik
pemerintah kabupaten baik pusat, provinsi, maupun kabupaten.
“
semoga pemerintah memperhatikan kehidupan pak Mus, karena bangsa yang besar
adalah bangsa yang menghargai jasa para pejuang dan pahlawannya,” harap pemuda
yang bekerja di kantor kelurahan Pelitakan ini.
DOLLAH DALLE, NASIBNYA MEMILUKAN, PEKERJAAN PUN TAK PUNYA
Kepala keluarga di gubuk itu bernama Dollah Dalle atau yang
lebih akrab di sapa ka’dolla. Usianya sudah mencapai 90 tahun. Ia lahir pada
tahun 1924 di Dusun 1 Taka turung, Desa Tapango Barat. Wajahnya tampak keriput, rambut beruban, serta mata dan telinga yang tak lagi
berfungsi dengan baik seperti kebanyakan orang.
Saat RADIKAL bertandang di kediamannya, tampak Ia kini
hanya mampu duduk dan berbaring ditempatnya. Dia mengaku menderita penyakit lumpuh dan
stroke selama kurang lebih delapan tahun. Dengan usianya yang uzur dan
keadaannya yang sekarang tak berdaya, di
hari-harinya ia hanya bisa merenungi
nasibnya dan berharap pemerintah dapat
berempati dan memberi bantuan kepadanya.
“Pernah waktu bulan puasa ada pihak pemerintah daerah yang
datang membawa sembako berupa beras, indomie, dan lain-lain, tetapi cuma satu
kali, setelah itu juga sempat dijanji bedah rumah tapi sampai saat ini juga
belum ada,” ujar Halima cucu dari Dollah
Dalle saat diwawancarai RADIKAL, Senin
(10/11). .
Hal senada yang diungkapkan Nabia, istri Dollah Dalle. “Kami
juga sempat dijanji pengadaan listrik gratis tapi sampai saat ini belum ada,”
tutur Nabia
Dari sejumlah keterangan warga di dusun 1 Takaturung, Dollah Dalle adalah seorang pejuang perintis
kemerdekaan Indonesia (veteran) yang tidak dilirik oleh pemerintah.
Perjuangannya terlupakan. Dia tidak pernah mendapatkan gaji atau tunjangan
laiknya seorang veteran. “ Dollah Dalle
atau Ka’dollah dimasa mudanya menjadi pejuang
melawan penjajah, pernah dijanji pemerintah untuk diberikan gaji veteran, tapi
saat ini beliau belum pernah mendapatkan gaji veteran,” ungkap guru Muhammad, salah
satu saudara Dollah Dalle
Muhammad Darwis Hamzah KETUA UMUM PARPOL YANG MENOLAK NYALEG Santri, Budayawan, Politisi , Pembela Rakyat
Teks Oleh : Jamaluddin (Kordinator Kajian dan Pelatihan RADIKAL Unasman)
Rumah panggung sederhana, berdinding kayu, terletak
di Kappung Katapang Lingkungan Masigi Kelurahan Wattang Kecamatan Polewali,
tepat disamping kanan mesjid Ustman Bin Affan.
Pada waktu pagi hingga malam hari, rumah tersebut akan selalu ramai dikunjungi orang.
Pengunjung yang berdatangan, mulai dari warga di
sekitaran Wattang, hingga yang berdatangan dari luar Kecamatan Polewali. Para pengunjung sangat riang gembira dan
begitu antusias mendatangi rumah itu.
Betapa tidak, sang pemilik rumah sangat berbaur dengan warga sekitar,
ataupun para pengunjung yang selalu datang berkunjung untuk sekedar
bersilaturrahim.
Cerita rumah panggung yang selalu ramai dikunjungi
orang itu adalah cerita dari rumah yang ditinggali almarhum Muhammad Darwis
Hamzah, di pertengahan tahun 70-an silam bersama istri dan buah hatinya. Saat
itu dia adalah Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Polewali Mamasa.
Hal tersebut dituturkan Sri Musdikawati, puteri dari Muhammad Darwis
Hamzah, yang mendapati langsung situasi rumahnya, saat diminta berbagi cerita
tentang sosok ayahnya di kediamannya, di
Jl. BTN Marwah, Pekkabata, kamis (30/10).
Dari cerita Sri Musdikawati, ingatannya masih mengingat persis dengan
kondisi dan situasi rumah saat ayahnya masih menjadi ketua PPP dulu. “Saya
masih ingat, saat jelang pelaksanaan kampanye PPP, warga berbondong-bondong
mendatangi rumah kami, dengan membawa hasil bumi seperti beras, pisang, minyak
goreng, dan segala kebutuhan untuk kampanye atau kegiatan partai lainnya,
padahal ayah sama sekali tak pernah memintanya, warga sendiri yang bergotong
royong,” kenang dosen Universitas Al-Asyariah Mandar ini.
Tak jauh berbeda dengan cerita Sri Musdikawati,
Azikin Noer juga sempat mendapati sosok Muhammad Darwis Hamzah, aktivis senior
yang lama berkecimpung di dunia LSM ini bertutur bahwa sosok pemimpin sejati sangat
susah didapati saat sekarang. “ beliau itu banyak berjasa kepada bangsa dan
negara. Mencari sosok pemimpin yang seperti itu sangat susah, salah satu ciri
khasnya adalah konsistensiya dalam memperjuangkan kepentingan orang banyak, dan
mengorbankan kepentingan pribadi dan keluarganya,” ujar pria yang akrab disapa bang
Kikin oleh rekan-rekannya sesama aktivis.
”
Puturi (almarhumah), istri dari pak Darwis Hamzah, yang saat itu berprofesi
sebagai guru, rela kehilangan
pekerjaannya karena suaminya berseberangan dengan pemerintahan Presiden
Soeharto. Karena partai PPP yang diketuai suaminya dianggap berseberangan
dengan partai Golkar yang menjadi partai penguasa dibawah kendali Soeharto,”
ujar Muslim, tetangga dekat rumah Muhammad Darwis Hamzah yang banyak mendapat
cerita dari ayahnya almarhum mantri Sunar yang cukup bersahabat dengan santri,
budayawan, politisi pembela rakyat ini.
Muslim menambahkan, bahwa sosok Muhammad Darwis
Hamzah adalah sosok politisi yang konsisten dan komitmen dengan kehendak yang
ada dalam lubuk hatinya. Dalam beberapa tahun dia sama sekali tak pernah
mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg) atau jabatan lain di
eksekutif hingga akhir hayatnya. “Tidak
ada ketua partai seperti pak Darwis Hamzah, selain dikenal intelektual juga
dikenal pekerja keras. Dia disegani baik kawan maupun rival politiknya. Dia
sangat pandai mengelola mesin partai secara mandiri,” tutur Muslim yang juga
pegawai di kantor Kesbanglinmas Polman.
Dari penelusuran RADIKAL yang
diramu dari berbagai sumber, diketahui bahwa Muhammad Darwis Hamzah
dilahirkan pada tanggal 12 desember 1939. Dia menjabat ketua Partai
Sarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 70-an.
Setelah terjadi “Fusi Partai”, yakni kebijakan
pemerintahan Soeharto, yang merampingkan parpol kedalam tiga partai, yaitu
partai berbasis Islam dilebur ke PPP, partai berhaluan nasionalis dilebur ke
PDI, dan partai Golkar sebagai partai yang dibekingi penguasa orde baru. Dari
situlah PSII dilebur kedalam PPP. Sehingga Muhammad Darwis Hamzah pun diserahi
amanah menjadi ketua partai PPP di Polewali Mamasa kala itu.
Selain menjadi politisi, dia juga pernah menjadi
ketua Badan Pertimbangan Pendidikan (Bapendik) yang menggagas Musyawarah
Pendidikan (Musdik) yang selanjutnya melahirkan beberapa sekolah, diantaranya:
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) sekarang menjadi SMK N 3 Polewali. Ada juga
sekolah pembangunan pertanian yang
sekarang menjadi SMK Pertanian, serta SMP N 2 Polewali.
Muhammad Darwis Hamzah memang selalu dikerumuni
orang banyak. Pribadinya dikenal
bersahaja, santun, diakrabi sebagai guru sekaligus santri yang selalu memperjuangkan nilai-nilai
islam yang toleran dan damai. Bersahabat
dengan sejumlah tokoh nasional sebut saja: Adi Sasono. Dia juga merupakan tokoh
Mandar satu-satunya yang tulisannya dimuat di majalah PRISMA terbitan ibukota dan
media nasional lainnya. Dia juga dikenal sangat bersahabat dengan almarhum
Husni Djamaluddin, penyair nasional kelahiran Tinambung Polman.
Warga Desa Lemo, Kecamatan Binuang, Kabupaten
Polewali Mandar, tak mampu melupakan jasa-jasa almarhum yang dikenal gigih
dalam memperjuangkan penderitaan rakyat. Dengan niat tulus pembelaannya kepada
rakyat, dia membebaskan tanah warga Desa Lemo agar tidak digusur. Waktu itu
tahun 1967, tanah perkampungan warga Desa Lemo akan dijadikan Home Base TNI. TNI saat itu dikenal menjadi penopang
kekuasaan rezim Soeharto.
Salah satu tokoh masyarakat Desa
Lemo, H. Cammana’, dia menuturkan bahwa memori 1967 adalah masa yang tak bisa
dilupakan warga Lemo. Waktu itu perkampungan di Lemo belum defenitif menjadi
Desa. “tanah itu luasnya kurang lebih 80 hektar, Pak Darwis Hamzah bersama
warga jumlahnya kalau tidak salah, 100 orang, berhasil mempertahankan tanah itu
dari penggusuran untuk pembangunan home base TNI,” kenang H. Cammana, saat
diwawancarai RADIKAL, Senin (4/12).
Mustafa Jumari, warga Desa Lemo lainnya
menuturkan, waktu itu warga bersatu mempertahankan tanah agar tidak diambil
alih oleh tentara. “batas tanah yang kami pertahankan dulu bersama almarhum pak
Darwis, mulai dari pinggiran sungai yang disebelah timur sampai di pinggiran
sungai yang disebelah barat,” ujar Mustafa Jumari rekan seperjuangan Muhammad
Darwis Hamzah.
Langganan:
Postingan (Atom)