Kamis, 30 Oktober 2014
Kamis, 09 Oktober 2014
UNTUK BUPATI BARU
Oleh : Muhammad Arif
(Ketua Umum UKM Pers mahasiswa RADIKAL Unasman)
Seorang bupati atau gubernur” menurut Joko Widodo (Jokowi) Gubernur DKI Jakarta dalam sebuah acara talkshow di televisi swasta, “bukan sekedar duduk manis di meja kerja, tetapi mengetahui hal yang substansial yang dialami dan diinginkan oleh rakyatnya.” Bahwa praktik kepemimpinan seorang penentu kebijakan harus disinergikan dengan mandat ribuan hati nurani rakyat yang dipimpinnya.
Menjadi bupati” seru Nurdin Abdullah bupati Bantaeng “bupati bukanlah penguasa, tetapi pelayan yang setiap saat siap mendengar jerit tangis rakyatnya yang ditimpa persoalan hidup. Kemudian mencari solusi cerdas untuk menyelesaikan persoalan tersebut.” Itulah kunci keberhasilan sehingga ia kemudian terpilih kembali dengan perolehan suara fantastis 84 persen tanpa penggunaan baligho dan praktek curang yang lumrah dalam arena pemilihan kepala daerah (pilkada). Seperti yang terjadi di Pilkada Lebak Banten yang kini diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Atas dasar itulah, setelah dilantiknya Andi Ibrahim Masdar menjadi bupati baru di bumi Polewali Mandar pada awal tahun 2014 ini, mandat hati nurani yang selama ini terpasung wajib dibuka kembali. Begitu pun saat hendak memilih pejabat-pejabat terbaiknya untuk mengisi pos di instansi-pemerintahan daerah (pemda) juga harus mengacu pada mandat hati nurani dan ketajaman analisis sang bupati.
Memilih pejabat teras di lingkup pemda bukan semata-mata karena faktor klasik: hubungan keluarga atau kolega yang mengabaikan kapasitas dan moralitas. Bukan pula sebagai bentuk ritual pembagian hasil rampasan perang yang sama sekali diluar kadar rasional. Hanya sebagai bentuk tanda terima kasih, suatu jabatan dipegang seseorang yang bukan ahli di bidangnya.
Sisa hasil rampasan perang biasanya dibagi kepada seluruh prajurit sebagai tanda balas jasa sang panglima perang. Dalam arena pilkada umumnya, biasanya prajurit ini adalah para elit birokrat yang lumrah dibahasakan para pengamat politik terjadinya“Politisasi Birokrasi”. Fenomena di lapangan acap kita jumpai, para birokrat yang gila jabatan (bisa juga karena takut dimutasi) kadang menanggalkan sumpah kenetralitasannya. Padahal sudah sangat jelas, diawal pengangkatan mereka sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) mereka disumpah dihadapan kitab suci agar menjaga netralitas dalam menghadapi setiap momentum politik praktis (pilkada dan pemilu).
Dengan mandat hati nurani rakyat yang termaktub dalam konstitusi, bupati Polewali Mandar yang baru dan segenap jajarannya diharapkan melindungi rakyatnya secara menyeluruh. Mengatasi kepentingan golongan dan keluarga. Betapapun mereka terpilih melalui peran partai politik, tim pemenangan, dan keluarga besarnya, akan lebih mulia jika anasir-anasir itu dikesampingkan.
Untuk mengetahui apa yang seharusnya dikerjakan, bupati dan segenap pejabat terasnya harus bisa mentransendensikan diri dari kepentingannya dengan memperkuat empati terhadap suara kaum minoritas-marjinal yang hari ini membutuhkan sentuhan tangan tulus pemimpinnya.
Selain itu, sebagai bupati yang sejatinya harus konsisten dengan apa yang dijanjikannya, maka ia harus mengetahui kondisi rill rakyatnya. Banyak blusukan ke kampung-kampung, terutama di kantung warga yang akses jalannya masih memprihatinkan. Supaya realisasi “Jalan mulus, ekonomi bagus” saat kampanye Pilkada lalu bukan tinggal slogan kosong melompong.
Selanjutnya, sebagai pemimpin yang baik, sang bupati harus senantiasa terbuka bagi kelompok oposisi yang berseberangan dengan pemerintahannya. Suara-suara alternatif tersebut wajib diberi ruang, karena bagaimana pun, peran oposisi dan masyarakat sipil (civil society) tetap diharapkan dalam sistem yang bernama demokrasi. Jika tidak, maka kehidupan demokrasi di Polewali Mandar akan memasuki situasi “krisis” yang serba paradoks. Kehilangan roh emansipasinya.
Selain harapan kepada bupati baru. Harapan serupa dialamatkan pula kepada parlemen Polewali Mandar yang april nanti akan menjalani rekrutmen ulang di Pemilihan Umum 2014. Mandat hati nurani menghendaki kekuatan parlemen yang bukan sekedar stempel pemerintah. Lembaga ini diharapkan mampu mengembangkan fungsi pengawasannya yang dapat mengatasi kemungkinan terjadinya main mata antara legislatif dan eksekutif yang buntutnya terjadinya praktek oligarki.
Parlemen memiliki fungsi pengawasan, dan fungsi ini berjalan efektif apabila partai-partai di luar pemerintah mampu meniupkan peluit peringatan manakala ada kebijakan pemerintah yang tidak beres. Setidaknya kekuatan ini mampu menjadi kekuatan penekan saat ada kebijakan yang dipaksakan oleh pemerintah yang tidak pro-rakyat.
Dengan demikian, akan terjadi sinergi antara kekuatan partai politik yang mampu memperingatkan legislatornya agar tidak main mata dengan eksekutif. Ditambah kekuatan masyarakat sipil (bisa ormas, mahasiswa, LSM, pers) di luar pemerintahan yang setiap saat melakukan analisis mendalam terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dan kekuatan legislatif di level suprastruktur---parlemen yang bisa dengan tangan terbuka meneruskan aspirasi dari dalam gedung Dewan
Perwakilan Rakyat.
Disinilah diharapkan sang bupati banyak melakukan perenungan di meja kerjanya. Bukan menghabiskan waktunya untuk menikmati kekuasaan yang sudah digenggaman. Larut dalam kegaduhan euphoria menjadi orang nomor satu di Polewali Mandar. Reputasi Andi Ibrahim Masdar sebagai akrobatik politik yang piawai, publik telah melihat. Tetapi amanah baru sebagai bupati, publik masih meragukan. Perlu dibuktikan kualitasnya. Minimal dalam 100 hari masa kerjanya kedepan.
Wallahu a’lam bishawab
Oleh : Muhammad Arif
(Ketua Umum UKM Pers mahasiswa RADIKAL Unasman)
Seorang bupati atau gubernur” menurut Joko Widodo (Jokowi) Gubernur DKI Jakarta dalam sebuah acara talkshow di televisi swasta, “bukan sekedar duduk manis di meja kerja, tetapi mengetahui hal yang substansial yang dialami dan diinginkan oleh rakyatnya.” Bahwa praktik kepemimpinan seorang penentu kebijakan harus disinergikan dengan mandat ribuan hati nurani rakyat yang dipimpinnya.
Menjadi bupati” seru Nurdin Abdullah bupati Bantaeng “bupati bukanlah penguasa, tetapi pelayan yang setiap saat siap mendengar jerit tangis rakyatnya yang ditimpa persoalan hidup. Kemudian mencari solusi cerdas untuk menyelesaikan persoalan tersebut.” Itulah kunci keberhasilan sehingga ia kemudian terpilih kembali dengan perolehan suara fantastis 84 persen tanpa penggunaan baligho dan praktek curang yang lumrah dalam arena pemilihan kepala daerah (pilkada). Seperti yang terjadi di Pilkada Lebak Banten yang kini diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Atas dasar itulah, setelah dilantiknya Andi Ibrahim Masdar menjadi bupati baru di bumi Polewali Mandar pada awal tahun 2014 ini, mandat hati nurani yang selama ini terpasung wajib dibuka kembali. Begitu pun saat hendak memilih pejabat-pejabat terbaiknya untuk mengisi pos di instansi-pemerintahan daerah (pemda) juga harus mengacu pada mandat hati nurani dan ketajaman analisis sang bupati.
Memilih pejabat teras di lingkup pemda bukan semata-mata karena faktor klasik: hubungan keluarga atau kolega yang mengabaikan kapasitas dan moralitas. Bukan pula sebagai bentuk ritual pembagian hasil rampasan perang yang sama sekali diluar kadar rasional. Hanya sebagai bentuk tanda terima kasih, suatu jabatan dipegang seseorang yang bukan ahli di bidangnya.
Sisa hasil rampasan perang biasanya dibagi kepada seluruh prajurit sebagai tanda balas jasa sang panglima perang. Dalam arena pilkada umumnya, biasanya prajurit ini adalah para elit birokrat yang lumrah dibahasakan para pengamat politik terjadinya“Politisasi Birokrasi”. Fenomena di lapangan acap kita jumpai, para birokrat yang gila jabatan (bisa juga karena takut dimutasi) kadang menanggalkan sumpah kenetralitasannya. Padahal sudah sangat jelas, diawal pengangkatan mereka sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) mereka disumpah dihadapan kitab suci agar menjaga netralitas dalam menghadapi setiap momentum politik praktis (pilkada dan pemilu).
Dengan mandat hati nurani rakyat yang termaktub dalam konstitusi, bupati Polewali Mandar yang baru dan segenap jajarannya diharapkan melindungi rakyatnya secara menyeluruh. Mengatasi kepentingan golongan dan keluarga. Betapapun mereka terpilih melalui peran partai politik, tim pemenangan, dan keluarga besarnya, akan lebih mulia jika anasir-anasir itu dikesampingkan.
Untuk mengetahui apa yang seharusnya dikerjakan, bupati dan segenap pejabat terasnya harus bisa mentransendensikan diri dari kepentingannya dengan memperkuat empati terhadap suara kaum minoritas-marjinal yang hari ini membutuhkan sentuhan tangan tulus pemimpinnya.
Selain itu, sebagai bupati yang sejatinya harus konsisten dengan apa yang dijanjikannya, maka ia harus mengetahui kondisi rill rakyatnya. Banyak blusukan ke kampung-kampung, terutama di kantung warga yang akses jalannya masih memprihatinkan. Supaya realisasi “Jalan mulus, ekonomi bagus” saat kampanye Pilkada lalu bukan tinggal slogan kosong melompong.
Selanjutnya, sebagai pemimpin yang baik, sang bupati harus senantiasa terbuka bagi kelompok oposisi yang berseberangan dengan pemerintahannya. Suara-suara alternatif tersebut wajib diberi ruang, karena bagaimana pun, peran oposisi dan masyarakat sipil (civil society) tetap diharapkan dalam sistem yang bernama demokrasi. Jika tidak, maka kehidupan demokrasi di Polewali Mandar akan memasuki situasi “krisis” yang serba paradoks. Kehilangan roh emansipasinya.
Selain harapan kepada bupati baru. Harapan serupa dialamatkan pula kepada parlemen Polewali Mandar yang april nanti akan menjalani rekrutmen ulang di Pemilihan Umum 2014. Mandat hati nurani menghendaki kekuatan parlemen yang bukan sekedar stempel pemerintah. Lembaga ini diharapkan mampu mengembangkan fungsi pengawasannya yang dapat mengatasi kemungkinan terjadinya main mata antara legislatif dan eksekutif yang buntutnya terjadinya praktek oligarki.
Parlemen memiliki fungsi pengawasan, dan fungsi ini berjalan efektif apabila partai-partai di luar pemerintah mampu meniupkan peluit peringatan manakala ada kebijakan pemerintah yang tidak beres. Setidaknya kekuatan ini mampu menjadi kekuatan penekan saat ada kebijakan yang dipaksakan oleh pemerintah yang tidak pro-rakyat.
Dengan demikian, akan terjadi sinergi antara kekuatan partai politik yang mampu memperingatkan legislatornya agar tidak main mata dengan eksekutif. Ditambah kekuatan masyarakat sipil (bisa ormas, mahasiswa, LSM, pers) di luar pemerintahan yang setiap saat melakukan analisis mendalam terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dan kekuatan legislatif di level suprastruktur---parlemen yang bisa dengan tangan terbuka meneruskan aspirasi dari dalam gedung Dewan
Perwakilan Rakyat.
Disinilah diharapkan sang bupati banyak melakukan perenungan di meja kerjanya. Bukan menghabiskan waktunya untuk menikmati kekuasaan yang sudah digenggaman. Larut dalam kegaduhan euphoria menjadi orang nomor satu di Polewali Mandar. Reputasi Andi Ibrahim Masdar sebagai akrobatik politik yang piawai, publik telah melihat. Tetapi amanah baru sebagai bupati, publik masih meragukan. Perlu dibuktikan kualitasnya. Minimal dalam 100 hari masa kerjanya kedepan.
Wallahu a’lam bishawab
Langganan:
Postingan (Atom)